Wednesday, October 23, 2019


MWCNU Kecamatan Suka Karya Mengucapkan Selamat Atas Dilantiknya Presiden Dan Wakil Presiden Terpilih Periode 2019 - 2024.



Sunday, October 20, 2019


Rais Syuriah PWNU Lampung Terima SK Muktamar PBNU ke-34  




Sekretaris Jenderal PBNU H A Helmy Faishal Zaini menyerahkan SK PBNU tentang penunjukan Lampung sebagai tuan rumah Muktamar NU ke-34 di Pondok Pesantren Darussa'adah, Mojoagung, Gunung Sugih, Lampung Tengah, Lampung, Jumat (18/10). (Foto/Faris/nu.or.id)

https://mwcnusukakarya.blogspot.com/ – Provinsi Lampung sudah dipastikan menjadi tuan rumah Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34. Memastikan hal itu, SK penunjukan Lampung sebagai, Jumat (18/10) diserahkan langsung Sekretaris Jenderal PBNU H A Helmy Faishal Zaini didampingi Ketua PBNU H Umarsyah.
SK tersebut diterima Rais Syuriah PWNU Lampung KH Mukhsin Abdillah di kediamannya di komplek Pondok Pesantren Darussa’adah, Mojoagung, Gunung Sugih, Lampung Tengah, Lampung.

“Dengan berbagai pertimbangan PBNU memilih Lampung sebagai tuan rumah Muktamar ke-34. Kami serahkan SK ini dengan harapan diberikan kelancaran persiapan sampai pelaksanaan Muktamar ke-34 pada tahun 2020,” kata Kang Helmy, sapaan karibnya.

Kang Helmy menambahkan pihaknya akan segera mengundang PWNU Lampung untuk membentuk panitia muktamar. “Untuk teknis kami segera membentuk kepanitiaan bersama wilayah,” imbuhnya.
KH Mukhsin Abdillah yang juga Pengasuh Pesantren Darussa’adah menerima dengan suka cita amanah PBNU tersebut. Ia berharap Lampung bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi muktamirin yang hadir dari seluruh Nusantara dan juga luar negeri.
“Alhamdulillah, saya bersyukur Lampung dan pesantren dipercaya sebagai tuan rumah Muktamar NU ke-34. Saya mengajak seluruh elemen dan nahdliyin Lampung khususnya untuk menyukseskan forum tertinggi NU ini,” tutur Kiai Mukhsin.[asa]

Saturday, October 19, 2019

Koin NU Sragen Menuju Nusantara Mandiri


Koin NU Sragen Menuju Nusantara Mandiri


Kelemahan NU adalah pada sistem dan manajemen. Kalimat itu sungguh melekat dalam ingatan Ma’ruf Islamuddin sejak masih menjadi santri, hingga saat mulai mengasuh sebuah pondok pesantren. Namun, ingatan itu tidak membuat Kiai Ma’ruf—panggilannya kini—sebagai seorang santri dan aktivis NU, merasa lemah. Justru Kiai Ma’rif menjadikan kalimat itu sebagai lecutan semangat hingga menggerakkannya melakukan perbaikan pada sistem dan manajemen di lingkungan serta warga NU. “Kelemahan kok dibiarkan? Kalau mau berusaha insyaallah bisa. Bismillah, saya akhirnya mencoba mengubah kelemahan itu agar bisa menjadi kelebihan,” kata Kiai Ma’ruf, Kamis (2/11). Kiai Ma’ruf mengawalinya pada tahun 2015 saat dirinya diamanahi sebagai Mustasyar MWCNU Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah. Ia mengenalkan semangat berinfak kepada warga di ranting-ranting NU di Kecamatan Karangmalang. Dari ajakan Kiai Maruf, kala itu pada tahap pertama berhasil mengumpulkan infak sebesar 7 juta rupiah dari 600 kotak; berlanjut 20 juta rupiah dengan 1000 kotak pada tahap kedua. Permintaan kotak bertambah pada tahap ketiga dan mencapai perolehan 30 juta rupiah. Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah pengumpulan rutin setiap selapanan (35 hari sekali). Pengumpulan dilakukan di beberapa ranting, saat ia mengisi pengajian. Gerakan perlahan-lahan itu membuahkan hasil yang tak bisa dianggap remeh. Satu kesempatan semangat berinfak yang dijalankan Kiai Ma’ruf diadopsi oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sragen sebagai gerakan yang kemudian dilakukan bersama di tingkat PCNU. Pengumpulan dan pengelolaan dana infak tersebut juga semakin diperkuat dengan pengakuan menjadi salah satu program LAZISNU Kabupaten Sragen. “Alhamdulillah, saat Pengurus Pusat LAZISNU mengadakan Workshop Eksistensi Manajemen Zakat Infak Sedekah di Sukabumi awal tahun 2017, hasil pengumpulan infak hingga tahun 2016 sudah bisa bisa dilaporkan sebagai pengumpulan LAZISNU Kabupaten Sragen,” tutur pria yang kini Ketua Tanfidziyah PCNU Sragen. Sinergi Ulama dan Umara Kembangkan ZIS di Sukabumi Sepulang mengikuti Workshop Eksistensi Manajemen ZIS di Sukabumi, LAZISNU Kabupaten Sragen semakin memantapkan niat untuk menyebarkan gerakan tersebut ke seluruh MWCNU. Secara resmi apa yang diinisiasi Kiai Ma’ruf dinamakan Gerakan Koin NU Menuju Nusantara Mandiri diluncurkan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada 14 April 2017.  Koin NU Sragen Pada tahun awal gerakan tersebut berhasil mengumpulkan dana infak senilai 2 miliar rupiah. Sementara saat ini rata-rata per 35 hari sekitar 300-400 juta rupiah terkumpul di tingkat Kabupaten Sragen. “Gerakan ini sudah menyebar ke semua MWCNU di Sragen. Ada 20 MWCNU di Sragen. Dengan jumlah kotak yang beredar 40 ribu, bila setiap kotak berisi 10 ribu rupiah, totalnya sudah 400 juta rupiah,” lanjut Pengasuh Pesantren Walisongo itu. Gerakan Koin NU Sragen mengandung dua makna. Pertama adalah koin yang bermakna uang berbentuk koin. Kedua berarti Kotak Infak.  Ada hal menarik dari Gerakan Koin NU Sragen. Pertama, dari jumlah koin atau uang infak yang dimasukkan setiap hari oleh satu keluarga, menyesuaikan kemampuan dan niat pemilik kotak infak. Bisa 100 rupiah, bisa 500 rupiah, 100 rupiah, seratus ribu atau lebih juga boleh. “Koin ini memungkinkan semiskin-miskinnya orang tetap bisa berinfak. Sepelit-pelitnya orang, boleh berinfak, berapa pun nilainya,” kata alumni Pesantren Banu Saudah, Sragen. Keunikan berikutnya, satu kotak infak boleh diisi oleh seluruh anggota keluarga.  “Bila bapak ingin infak, bisa. Ibu ingin infak, di kotak itu boleh. Anak, bahkan tamu pun boleh infak,” katanya. Ketiga, setiap berinfak bisa dengan niat tertentu. Misalnya supaya disehatkan, supaya lulus ujian, pahalanya buat orangtua, ingin naik haji, atau niat tertentu lainnya. “Yang menarik, banyak orang yang tidak shalat tapi mau mengisi kotak infak ini, karena saya katakan berinfak bisa untuk menambah rizki. Jadi mereka yang awam tentang agama Islam pun tertarik mengisi infak. Nah, ini kan bisa sebagai dakwah juga,” papar pria yang dikarunai lima orang anak ini. Dari warga atau rumah-rumah, kotak infak dikumpulkan dengan dua cara. Pertama, petugas mendatangi rumah-rumah warga yang telah memiliki kotak infak. Lalu petugas mengambil uang dari kotak, memasukkan ke dalam ember tanpa menghitungnya.  Cara kedua adalah jamaah atau warga satu ranting dikumpulkan. Di tempat itu, mereka menyetorkan koin dari kotak. Hasil perolehan setiap pengumpulan dilakukan pencatatan per ranting, lalu dari ranting dicatatkan ke MWCNU. Dari MWCNU di laporkan angka perolehannya ke PCNU. Akan tetapi, perolehan dari setiap warga, ranting, lalu MWCNU tidak diumumkan secara terbuka, terutama untuk menyebutkan mana misalnya ranting yang mengumpulkan paling banyak atau paling sedikit dalam setiap pengumpulan. “Tujuannya agar tidak merasa malu bagi yang berinfak kecil. Ataupun menimbulkan bangga berlebihan dan kesombongan bagi yang mengumpulkan paling besar,” kata pria yang November nanti berusia 51 tahun.  Di Sragen, gerakan tersebut bukan saja menjadi gerakan LAZISNU, namun juga PCNU dengan pelibatan seluruh lembaga-lembaga di bawah PCNU Kabupaten Sragen. “Saya memegang prinsip bahwa kekuatan NU adalah bila lembaga-lembaganya bergerak. Karena gerakan infak ini harus dilakukan oleh LAZISNU, maka secara kelembagaan LAZISNU yang berwenang menanganinya. Bila terkait pendidikan, LP Maarif yang saya dorong terlibat. Demikian juga soal pondok pesantren, kita sama-sama menggerakan lewat RMI,” papar Kiai Ma’ruf. Kiai Ma’ruf yang pada kepengurusan sebelumnya menjabat Ketua PC RMINU, percaya bahwa sistem yang baiklah yang menjadi kunci sukses Gerakan Koin NU. “Sistem yang saya tiru adalah dari Allah. Allah mengutus dua malaikat untuk mencatat perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia. Dengan pencatatan pada gerakan Koin NU, akan menimbulkan ketransparanan. Itu bisa dipertanggungjawabkan,” ujar pria yang juga Pembimbing Haji dan Umrah pada KBIH Walisongo. Sementara ini, infak yang terkumpul diprioritaskan untuk membangun gedung MWCNU di setiap kecamatan. Namun tidak menutup kemungkinan untuk insidental, artinya menyesuaikan kejadian dan kondisi yang perlu dibantu. PCNU dan LAZISNU Sragen antara lain melakukan santunan yatim piatu pada Hari Santri yang lalu. Selain itu, dalam pengembangan ekonomi, bekerjasama dengan Lembaga Perekonomian Nahdltaul Ulama (LPNU), infak juga dimanfaatkan untuk membeli minibus yang sebagai rintisan usaha PCNU Sragen di bidang jasa angkutan travel, berlabel NU Trans. Dari sistem yang dijalankan, pelaporan yang transparan, serta pemanfaatan yang tepat sasaran, Kiai Ma’ruf optimis, Koin NU niscaya benar-benar mampu mewujudkan Nusantara yang mandiri. (Kendi Setiawan)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/82878/koin-nu-sragen-menuju-nusantara-mandiri Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id

Friday, October 18, 2019

Konstruksi Aswaja Di Indonesia

Konstruksi Sunnisme Kalangan Tradisionalis Islam di Indonesia
(analisis kritis atas formulasi ASWAJA – NU) *
Oleh :
H.Abdullah Syamsul A, S.Ag. M.H.I. **

Taqdim


Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah , yang dalam khazanah  barat disebut Sunnisme, adalah sebuah ideologi (faham keagamaan) yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keragaman masing-masing kelompok pendukungnya dalam mengaktualisasikan ideologi ini. Keragaman tersebut timbul dari perbedaan pendekatan atau cara pemahaman pendukungnya terhadap ideologi  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Selain itu disebabkan perbedaan konteks historisitas di mana dan kapan ideologi ini diaktualisasikan.
Di Indonesia. Diskursus  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memiliki nuansa yang khas. Ideologi ini diakui oleh mayoritas umat Islam, walaupun wujud aktualisasinya berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Di sinilah, Nahdlotul ‘Ulama’ (NU) merupakan salah satu fariannya. Organisasi Islam dengan jumlah massa terbesar ini mempertegas jati dirinya sebagai “pembela” Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah   - - yang dilingkungan NU lebih akrab disebut dengan akronim  “ASWAJA” - -.
Makalah ini akan memfokuskan kajiannya pada karekter paham keagamaan NU untuk kemudian mencoba menakarnya dengan konsepAhl al-Sunnah wa al-Jama’ah.




Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah : Dalam Lintasan Historis, Politik dan Pemikiran.

Sejarah telah menuturkan, Walaupun ajaran dasar tentang sunnah dan Jama’ah ada dalam al-Qur’an dan Hadits, namun perkataan al-Sunnah dan al-Jama’ah sebagai idiom sosial-keagamaan Islam muncul setelah beberapa peristiwa politik dalam sejarah dini Islam. Kaum sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,  sebagai golongan adalah “produk” sejarah, politik dan pemikiran Islam.
Apabila kita mau menelusuri dan menganalisa dengan cermat, maka kita akan memahami bahwa ide paham sunni tidak dapat dilepaskan dari bibit-bibit perpecahan dikalangan umat Islam yang sudah tumbuh mulai dari masa Nabi SAW, dan beliau sendiri sangat memprihatinkan hal itu dan mengemukakan antisipasi-antisipasi. Fenomena yang mengindikasikan bagi potensi perselisihan dan perpecahan itu adalah suatu ironi yang terjadi pada diri Rasul Allah SAW sendiri : yaitu ketika beliau wafat, jenazah beliau tidak segera dikebumikan, dan baru bisa terealisasi tiga hari kemudian. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk beliau.  Kalau kita cermati apa yang terjadi selama tiga hari tersebut?, tidak lain ialah pertikaian politik tentang siapa yang akan menggantikan beliau dalam kapasitas selaku kepala negara. Dengan diangkatnya Abu Bakr yang disponsori ‘Umar, persoalan itu memang dapat terselesaikan(sementara), namun bibit-bibit pertikaian itu tidak semuanya dapat dimusnahkan.
Meletusnya peperangan  antara ‘Ali dengan basis kufah di Irak dan Mu’awiyah dengan basis Damasakus di Syiria yang sempat memakan korban ribuan jiwa para sahabat Nabi, kiranya dapat dijadikan sebagai bukti sejarah bahwa bibit-bibit perpecahan itu memang belum pupus sama sekali. Pertikaian yang memicu terjadinya perang yang kita kenal dengan sebutan perang siffin itu sejenak memang dapat dihentikan. Tapi ia masih menuntut korban lagi yaitu jiwa ‘Ali sendiri, Khalifah bijak yang ke tiga. Tidak lama setelah itu, berdasarkan penuturan cerita yang cukup variatif, Hasan, putra ‘Ali yang telah dinobatkan untuk menggantikannya, turun dari kedudukannya, pada tahun 41 H. dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah. Peristiwa tersebut nampaknya sangat melegakan umat Islam, dan tahun itupun disebut ‘a>m al-Jama>’i,   tahun persatuan menyeluruh. Karena sudah sekian lamanya umat bertikai, maka persatuan kembali itu membangkitkan kenangan manis masa-masa ‘Abu Bakr dan ‘Umar.  Dengan modal itu program-program politik dapat dimulai lagi, khususnya ekspansi yang sempat tertunda bertahun-tahun. Akan tetapi, karena bibit-bibit pertikaian tadi memang belum dapat diberangus secara keseluruhan, maka tidak lama kemudian peristiwa karbala yang amat memilikun terjadi, ketika Husein putera ‘Ali, terbunuh dengan sangat sadis oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah, yang saat itu telah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa. Peristiwa itulah yang membangkitkan sentimen simpati dan dukungan yang luar biasa kepada keluarga ‘Ali, yang kemudian sentimen itu mengkristal menjadi gerakan yang sangat teguh dan bersemangat. Mereka itulah yang disebut kaum syiah, dengan jargon utamanya penegakan keadilan dan pembelaan kepada kaum yang lemah.
 Konfrontasi-konfrontasi terus terjadi, di Hijaz misalnya, telah meletus pertikaan besar antara ‘Abd Allah bin Zubair (keluarga dekat ‘Aisyah, istreri tercinta Nabi) yang memberontak terhadap rezim Damaskus. Pertikaian tersebut baru dapat dihentikan setelah Abd Allah bin Zubair terbunuh. ‘Abd al-Malik bin Marwan, penguasa Damaskus pada saat itu, berupaya keras agar pembrontakan-pembrontakan bisa dihentikan, dan dunia Islam dapat dipersatukan kembali. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk dapat menggunakan etos jama’ah dan mengukuhkannya dengan sebaik-baiknya. Upaya itu nampaknya cukup berhasil, serta mampu melahirkan proses arabisasi (Islamisasi) yang ujung-ujungnya menghasilkan terbentuknya Dunia Arab yang terbentang dari Bahrain di Timur sampai Maroko di Barat.
Namun demikian, kenyataan yang selalu didambakan ini, tidak berlangsung lama. Sebab menjelang akhir abad pertama Hijriah, Dinasati klan  yang pernah menjadi musuh bebuyutan Klan Nabi (Bani Hasyim), mulai menampakkan tanda-tanda keruntuhannya. Saat itulah tampil Tokoh yang besar peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan golongan sunni, yaitu Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, yang kerap sekali dijuluki al-Khalifah al-Khamis ( khalifah yang kelima dari empat Khulafa’ al-Rasyidin sebelumnya). Ia mengulangi usaha membangkitkan etos Jama’ah, namun kali ini dengan format keagamaan yang saleh dan lebih bersungguh-sungguh. Ia canangkan persatuan universal umat Islam yang meliputi seluruh golongan, tanpa peduli tentang aliran sosial politik keagamaan masing-masing. Secara simbolik ia wujudkan gagasannya itu dengan mengakui keabsahan empat khalifah pertama, termasuk ‘Ali yang sejak semula tidak diakui oleh rezim Damaskus. Dengan sendirinya programnya itu juga meliputi golongan-golongan syiah dan khawarij, dua kekuatan “subversif” yang sangat berbahaya bagi rezim Damaskus. Mereka menyambut gagaasan inklusif ini, sekaligus memanfaatkannya. Tapi nampaknya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz cukup tulus dengan agendanya itu, dan iapun segara mendapatkan dukungan yang antusias dari masyarakat Madinah, yang selama ini bersikukuh memilih netral dalam menatap persoalan politik yang terjadi.
Dengan adanya dukungan yang riil dari komunitas madinah, maka khalifah ini mulai mengarahkan pandangannya ke kota Nabi tersebut, dan ia meminta kepada salah seorang sarjana terkemuka saat itu, yang bernama Syihab al-Din al-Zuhri untuk meneliti dan mencatat “Sunnah” penduduk kota Nabi itu. Dengan gembira ia menyambut perintah itu, dan memulai untuk mengorek dari komunitas Madinah segala sesutu yang terkait dengan Nabi yang telah mereka hafal turun temurun, baik perkataan, perbuatan maupun sikap Nabi itu. Dan Dari sinilah mulai terjadi gerakan penghimpunan dan pencatatan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, yang kemudian tumbuh menjadi sumber ajaran islam yang ke dua. Tetapi Usaha Kodifikasi Hadits sebagai agreget konsolidasi sunni berlangsung cukup lama dengan rentangan waktu satu abad lebih. Proses itu harus terlebih dahulu menyaksikan tampilnya seorang ahli dan pencipta teori kritik hadits yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H). Syafi’i sangat prihatin dengan mudahnya orang menuturkan hadits, sehingga terjadi kekacauan antara yang absah dan yang palsu. Metode syafi’i diikuti dan mempengaruhi para tokoh pemikir Islam saat itu. Namun demikian, teori kritik yang dibangun syafi’i baru terlaksana dengan baik sekitar setengah abad kemudian, dengan tampilnya al-Bukhari. Dan sang perintis ini kemudian diikuti oleh Muslim, al-Tarmidzi, al-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah. Mereka menghasilkan apa yang kita kenal sekarang dengan “al-Kutub al-Sittah” referensi bidang Hadith yang dianggap paling baku dikalangan sunni.
Setelah masa itu, proses kodifikasi bisa dianggap final dengan telah lahirnya enam kitab (disamping kodifikasi-kodifikasi lain) yang diklaim sebagai rujukan  baku kaum sunni dalam bidang hadits.  Akan tetapi, perang pemikiran yang disertai dengan truth claim terus mewarnai sejarah perjalanan pemikiran Islam, dan kali ini berada pada wilayah bagaimana masing-masing kelompok sosial politik keagamaan itu memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pertikaian antara mana yang benar dan salah dalam pemahaman agama Islam merembet ke bidang-bidang lain, utamanya dalam bidang aqa’id . Perbedaan-perbedaan dalam hal ini semakin menumbuh suburkan terciptanya kelompok-kelompok sosial politik keagamaan yang memiliki pola pemahaman keagamaan yang berbeda dan saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Kelompok-kelompok inilah yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah firqah.
Kelompok-kelompok yang menyatakan sebagai pembela sunnah pun turut ambil bagian dalam hal ini. Dan nampaknya agak ironis, bahwa  konsolidasi faham sunni di bidang ini diselesaikan oleh seorang bekas “kader” Mu’tazilah, saingan kaum sunni, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia sedemikian suksesnya dalam garapannya itu, sehingga saat ini hampir seluruh dunia Islam sunni mengikuti teori dan metodologinya. Rumusan Teologi yang dicetuskan oleh al-Asya’ari (yang sekarang kita kenal dengan istilah ASWAJA) diperkuat oleh al-Maturidi dan dikembangkan oleh al-Baghdadi, al-Baqillani dan al-Juwaini, sehingga mengantarkan konsep teologi ini kepada suatu tahap baru, yaitu sebagai suatu madzhab yang boleh dikatakan “sempurna” untuk menjawab seluruh tantangan teologis yang berkembang pada abad ke-4 s/d ke-5 H. Teologi ini bergerak semakin leluasa pada masa al-Ghazali (antara tahun 450 s/d550 H) sebagai akibat dukungan tidak langsung dari seorang menteri bernama Nidzam al-Muluk. al-Ghazali sendiri juga pro aktif dalam mengembangkan teologi Asya’ari terutama dalam bukunya yang berjudul al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Sejak masa al-Ghazali inilah teologi Asy’ari berkembang dengan pesat karena wataknya yang moderat (al-I’tidal). Berdasarkan realitas ini, banyak kalangan yang menilai bahwa ditangan al-Ghazali inilah paham sunni memperoleh konsolidasinya yang terakhir dan “final”. Kemampuan intelektual al-Ghazali yang luar biasa dan cakupan ilmunya yang meliputi praktis seluruh kajian keislaman, menjadikannya mampu mempengaruhi dunia Islam. Dan ia pun disebut “Hujjat al-Islam” (bukti kebenaran Islam).

 

HAKIKAT ASWAJA


Bertolak dari beberapa uraian di atas, nampaknya hal yang perlu ditegaskan di sini adalah suatu fakta yang menunjukkan bahwa ASWAJA merupakan gerakan pemikiran dan purifikasi tentang ajaran Islam. Dalam konteks ini orang barat menyebutnya dengan istilahOrtodoks Sunni School:; suatu lembaga yang berusaha memurnikan kembali ajaran Islam, di mana pada waktu itu telah terjadi penyimpangan. Pemurnian itu dialamatkan kepada kelompok MU’TAZILAH, satu sekte dalam teologi Islam yang dianggap banyak  melakukan penyimpangan, terlebih karena terlalu bebas menggunakan akal pikiran. Sehingga kelompok ini menurut ASWAJA digolongkan dalam  ahl al-Bid’ah. Oleh karena itu, ASWAJA merupakan kelompok yang berusaha memulihkan interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>”, yang lebih populer dengan hadits ASWAJA. Adapun secara trminologis istilah ASWAJA awalnya adalah sekedar nama dan bukan sebuah institusi formal. Artinya ASWAJA sejak zaman sahabat sudah ada, tetapi baru bisa menjadi lembaga formal ketika masa al-Asy’ari, dalam kerangka menghadapi kelompok yang disebut ahl al-Bid’ah. Sehingga para pemikir Islam saat itu merasa perlu merumuskan acuan yang dianggap ASWAJA, baik dibidang fiqh, teologi, tasawuf maupun bidang akhlaq. Dengan demikian, kelompok-kelompok sebelum al-Asy’ari yang mempunyai karakteristik gerakan yang sama; yaitu menampilkan Islam sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>, seperti gerakan Ahmad bin Hanbal dan Hanabilah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits juga dikatagorikan ASWAJA. Bahkan dalam berbagai kesempatan Asy’ari sendiri sangat memuji kelompok ini, seperti yang dinyatakannya secara eksplisit dalam bukunya yang bernama “ al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”.


POSISI DOKTRIN ASWAJA DALAM JAM’IYAH NU


Sikap NU yang menempatkan ASWAJA seabagai Doktrin teologis serta acuan dalam peribadatan, muamalah dan tasawuf, menunjukkan suatu kesadaran historis dikalangan Nahdliyyin untuk menilai sekaligus memilih rumusan yang dianggap paling “benar” dan paling “mashlahah”  dalam wacana perkembangan pemikiran islam. Tetapi, jika kita perhatikan dari sudut kronologi sejarah dan urutan-urutan waktu, tokoh-tokoh yang dijadikan “panutan” dalam rumusan ASWAJA itu, antara yang satu dengan yang lain nampak tidak “nyambung”. Sebab, misalnya, antara perintis madzhab empat yang terdiri dari Imam Malik (80-150 H), Imam Hanafi (93-179 H), Imam Syafi’i (150-205 H) dan Imam Ahmad Ibn Hambal (164-241 H) dengan dua perumus teologi ASWAJA, yakni  al-Asy’ari (260-235) dan al-Maturidi (-333 H), terdapat senjang waktu yang cukup lama. Dalam arti, tidak mungkin perintis empat madzhab fiqih itu, secara teologis, mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi. Yang terjadi malah sebaliknya. Dua perumus teologi Sunni itu, dalam bidang fiqih, mengikuti Madzhab Syafi’i dan Hanafi. Padahal teologi atau “aqidah” menjadi ukuran utama dalam ASWAJA. Contoh lain, adalah tokoh yang dianggap sebagai perumus tasawuf ASWAJA, Junaid al-Baghdadi (-297 H). Karena ia lahir dan merumuskan pemikiran tasawufnya sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi, maka mustahil, secara teologis, ia mengikuti rumusan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi. Oleh karena itu, rumusan NU tersebut semestinya mengandung beberapa implikasi untuk mengembangkan dan menetapkan pemahaman ASWAJA diatas. Pertama, Penelitian lebih mendalam terhadap karya-karya teologis al-Asy’ari dan al-Maturidi, karya-karya fiqih imam madzhab empat dan karya-karya tasawuf al-Ghazali dan junaid al-Baghdadi. Kedua, Studi historis terhadap aliran-aliran yang pernah menjadi pendukung ASWAJA dan penentangnya. Ketiga, Studi perbandingan dan keterpaduan terhadap seluruh produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA. Keempat,Merekonstruksi kembali rumusan ASWAJA diatas, jika ternyata, berdasarkan penelitian, produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu saling bertentangan dan kontradiktif, apalagi sulit diterima secara rasional.
Implikasi semacam ini, sepanjang sejarah NU, belum pernah dilakukan; bahkan mayoritas kalangan tokoh Nahdliyyin tidak berusaha secara serius untuk mengkaji sumber pertama, berupa kitab-kitab yang ditulis oleh para tokoh peletak dasar doktrin ASWAJA itu. Yang berkembang dikalangan Nahdliyyin adalah malah sumber Kedua, Ketiga, bahkan sumber keempat dan kelima yang umum dijadikan landasan teologis normatif bagi sikap dan pola pikir mereka.
Sebagai contoh, dalam bidang teologis kita lebih akrab dengan karya al-Juwani, al-Baqillani, al-Nasafi, al-Sanusi dan Sayyid Ahmad Al-Marzuqi dibandingkan dengan karya-karya al-Asy’ari dan al-Maturidi sendiri. Dalam bidang Fiqh, kita lebih akrab dengan karya-karya al-Nawawi, al-Rafi’i dibandingkan dengan al-Syafi’i, Malik, Ahmad Ibn Hanbal dan yang lain-lain. Dalam bidang tasawuf, kita memang akrab dengan al-Ghazali, tetapi itu hanya terbatas pada Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayah al-Hidayah,  disamping mitos dan managip. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Sedang karya-karya Junaid al-Baghdadi mungkin masih asing dalam wacana pemikiran kalangan elit Nahdliyyin. Oleh karena itu, jika ada studi yang menghasilkan kesimpulan yang kontradiktif dan antagonistik antara para tokoh yang disebut dalam rumusan  “ASWAJA” versi NU itu, kita tidak perlu kaget. Karena memang kita belum pernah melakukan studi serius. Contoh-contoh berikut ini mungkin bisa memperjelas soal diatas itu.
Pertama,  Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i, dalam lapangan politik, lebih cendrung kepada Syi’ah, karena kecintaan mereka terhadap ahl al-Bait yang dalam sejarah memang  terus menerus mengalami penindasan. Tetapi kecintan mereka itu tentu tidak membuat mereka meyakini teologi Syi’ah yang tidak mengakui keabsahan al-Khulafa’ al-Rasyadin selain ‘Ali. Sebab teologi Syi’ah sebagai madzhab baru dirumuskan pada abad ke –3 H/ ke –9 M, dengan menjadikan hadith Ghadir khum sebagai dasar klaim teologi politik Syi’ah – hal yang harus diperdebatkan.
Kedua, Ahmad Ibn Hanbal, menurut Ibn Jarir al-Thabari dalam kitab al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang  Faqih, tetapi hanyalah seorang Muhaddist. Sebab kemampuan dalam ber-istinbat dari al-Qur’an dan al-Hadist hampir tak ditemukan. Ia menjadi tokoh madzhab, karena “dibesarkan” oleh para pengikutnya, terutama Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Ketiga, Teori tasawuf al-Ghazali yang dikenal selama ini oleh kalangan sunni hanyalah sebatas pemikiran yang ia kemukakan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.  Dalam kitab ini pemikiran tasawuf al-ghazali memang terlihat warna sunninya. Akan tetapi, dalam kitab-kitabnya yang lain, teori tasawufnya lebih mendekati al-Hallaj, terutama dalam  konsep  Wihdah al-Wujud. Bahkan al-Ghazali secara inplisit mengemukakan kekagumannya terhadap teori Fana’ dan  hululnya  al-Hallaj dalam Ihya’ Ulum al-Din, ketika membahas tingkatan iman. Jika penemuan diatas dapat dibenarkan, maka teori tasawuf al-Ghazali masih harus diperdebatkan keabsahannya dikalangan ASWAJA.
Keempat, Teori tasawuf al-Junaid boleh dikatakan sangat asing dari pendengaran kita. Yang menjadi pertanyaan, sumber apa yang digunakan oleh para perumus “ASWAJA” versi NU sehingga mengadopsi teori tasawuf al-Junaid itu sebagai acuannya? Di linkungan pesantren sendiri, kepustakaan tentang atau oleh al-Junaid sendiri hampir tidak dikenal, kecuali beberapa kutipan pendapatnya dikitab-kitab yang ditulis orang lain. Padahal, dalam sebuah artikel pendek yang ia tulis dan dikumpulkan dalam  Rasa’il al Junaid, al-Junaid  malah nampak cendrung memihak kepada pendukung peniadaan sifat tuhan (Nafi al-Shifat) yang lebih mirip dengan pikiran Mu’tazilah dan bertentangan dengan teologi al-Asy’ari.
Dari keempat contoh diatas, jelaslah bahwa rumusan ASWAJA yang selama ini kita terima perlu pengembangan dan evaluasi, melalu studi yang serius. Hal ini sangat penting karena ASWAJA bagi NU adalah landasan  gerak, berfikir dan bersikap.
Sebetulnya, rumusan ASWAJA  ‘a la NU diatas dapat dikatakan “cukup baik dan tepat”, jika disertai penelitin dan pendalaman hal-hal sebagai berikut :
1.      Bahwa para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu adalah pemikir yang produk intelektualnya meliputi tiga bidang asasi hidup kaum muslimin, yakni teologi, fiqh dan tasawuf.
2.      Diantara para tokoh tersebut, dalam beberapa hal, terdapat kecocokan, disamping ada perbedaan, bahkan pertentangan yang antagonistik, seperti telah diungkapkan diatas.
3.      Kajian historis terhadap aspek-aspek kehidupan sosial politik yang terjadi sejak Rasulullah wafat sampai pada masa hidup para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA iti sangat penting. Kajian itu juga mesti disertai analisis tentang relevesinya dengan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
4.      Kajian historis terhadap aliran-aliran (yang masih dalam lingkup Islam) yang dalam banyak hal bertentangan dengan doktri ASWAJA.
Dari produk kajian tersebut, kita akan dapat menampilkan sosok ASWAJA yang lebih jelas, simpatik, meyakinkan, transparan, dan tidak ekslusif.
                                                                                              
085731873836

IDENTITAS ASWAJA NU


Dari beberapa uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi NU, ialah pola keagamaan bermadzhab, yakni mengikuti petunjuk-petunjuk generasi muslim sebelumnya dalam memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan al-Hadits). Epistimologi dan performen ASWAJA yang demikian ini, tentu saja sangat tipikal, tidak persis sama  dengan konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  yang bisa disentasakan dari perjalanan sejarah aliran-aliran keagamaan umat Islam.
Pada masa tertentu (sebelum abad ke 5 H), ASWAJA dinisbatkan kepada Ahl al-Hadits yang pernah dipresentasikan oleh Ahmad bin Hambal atau Hanabilah. Paham keagamaan yang dikembangkan adalah tekstualis, anti takwil dan berparadigma “mendahulukan yang ma’tsur/tekstual dari pada yang ma’qul/rasional). Sedangkan saat yang lain (paroh terakhir abad   ke-5 H), ASWAJA lebih dinisbatkan pada eksistensi pemikiran Asy’ari dan Asy’ariyah yang rasional.
Paradigma keagamaan ahl al-hadits selanjutnya dikenal dengan salafisme. Jika paham ahl al-hadits diidentifikasi sebagai  corak Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan jika ditarik kepada polarisasi paham keagamaan di Indonesia, maka Persis, al-Irsyad dan Muhammadiyah nampaknya sangat pantas menerima julukan ini. Karena organisasi-organisasi tersebut, walaupun secara sosiologis dapat dikatagorikan “modernis”, tetapi dalam paham keagamaanya dapat dikatakan “salafis”.
Seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa rumusan definisi ASWAJA yang populer dikalangan NU adalah “paham keagamaan yang dalam bidang fiqh mengikuti madzhab empat, mengikuti Asy’ari dan Maturidi dalam bidang Aqidah, serta mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi dalam bidang Tasawwuf”. Sementara itu eksistensi ASWAJA di NU disebutkan dalam bermacam istilah: Madzhab, Paham, Aqidah, Dasar dan Haluan, yang masing-masing penyebutan memiliki makna tersendiri.
Diakui atau tidak, di dalam NU akhirnya terdapat beragam pemahaman terhadap ASWAJA, baik dari segi pengertian maupun eksistensinya. Ada yang memandangnya dengan sifat yang inklusif dan interpratable, dan ada pula  yang memeganginya secara eksklusif dan rigid. Berbagai pemahaman tersebut sesungguhnya berintikan “pola keagamaan bermadzhab”. Adapun pencantuman berbagai madzhab dalam rumusan ASWAJA NU dapat dipahami sebagai Ta’rif bi al-Mitsal (definisi dengan penyebutan contoh). Sebab boleh jadi bahwa konsep ASWAJA sebagaimana terdapat di NU itu, merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan konsep  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu sendiri, yang sepanjang sejarahnya mengakomudasi berbagai perbedaan.
Kesimpulan seperti tersebut di atas, diperkuat oleh dasar pemahaman ASWAJA yang diletakkan oleh pendiri NU. dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdlat al- Ulama’ (Pembukaan Anggaran Dasar NU) yang ditulis langsung oleh KH.Hasyim Asy’ari, terkesan jelas bahwa salah satu mutivasi didirakannya NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan yang berakar pada ajaran  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.  Dalam teks itu dapat pula dipahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  berintikan pola keagamaan bermadzhab kepada Madzahib al-Arba’ah, tidak termasuk di dalamnya kepengikutan tehadapa madzhab-madzhab dibidang teologi dan Tasawuf --sebagaimana terdapat dalam rumusan tokoh-tokoh NU lainnya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  dalam NU merupakan tipikal aktualisasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Indonesia yang berintikan pola keagamaan bermadzhab. Pola keagamaan seperti ini membedakan dirinya dengan kelompok Islam lainnya dari sayap Islam modernis. Kedua kelompok ini sepanjang sejarah pergumulan umat Islam indonesia selalu terlibat perbedaan, baik pada tataran wacana keagamaan, konsep-konsep sosial, maupun politik yang tentu saja diduga kuat merupakan aktualisasi dari paham keagamaannya masing-masing.


* Makalah dipresentasikan dalam Dialog  Aswaja dalam rangka HARLAH NU yang diselenggarakan oleh Pengurus MWC Nahdlatul Ulama’ Umbulsari pada tanggal 14 September 2005.
** Pemakalah adalah Katib Syuriyah PCNU Jember,  Staf pengajar STAIN Jember, STAIFAS Kencong dan Pelayan Santri PP “Darul Arifin” Curahkalong Bangsalsari Jember.

Ahlussunnah Wal Jama'ah


AHLUSSUNNAH  WAL JAMA’AH
PENGERTIAN DAN AKTUALISASINYA
Ilmu-ilmu ke-Islaman pada pokoknya terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama, Al-Ushul (prinsip-prinsip ajaran) yang menyangkut masalah akidah, keyakinan yang berkaitan dengan Tuhan,Rasul dan hari akhir, dan semua masalah yang langsung ada hubungan dengan hal-hal prinsip tersebut’ seperti wahyu, alam kubur, surge maupun neraka. Kedua, Al-Furu’ (Cabang-cabang) atau detailering ajaran-ajaran yang lebih praktis, yang menyangkut masalh fiqhiyah, yang berhubungan dengan kegiatan ibadah dan mu’amalah maupun jinayah.
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sebenarnya secara sub-stansial berkaitan dengan masalah Al-Ushul tersebut,dan tidak berkaitan dengan masalah Al-Furu’. Demikian juga halnya dengan pengertian firqah-firqah yang disebut dalam sebuah hadist sebanyak 73 firqoh itu, tidak lebih dari konteks keushulan ini, (dalam masalah akidah bukan masalah fiqhiyah).
Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-farqu baina Al-Firaq juga menjelaskan: “… Golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah,baik dari aliran rasional, maupun aliran skriktural (Ahlu Ar-ra’yi dan Ahlu Al-Hadist), termasuk para fuqaha’,qurra’, (Ahli Ulumil Qur’an),Muhadditsun’,mereka sependapat dalam suatu kesimpulan mengenai ke-Maha Esaan Allah, keadilannya, kebijaksanaan-Nya,nama dan sifat-sifat-Nya.,’ demikian juga dengan masalah kenabian,keimamahan, dan masalah-masalah ushuluddin lainnya, perbedaan yang terjadi diantara mereka hanya terbatas masalah-masalah furu’ , masalah fiqhiyah yang menyangkut pemahaman halal dan haram dan dalam perbedaan-perbedaan (fiqhiyah) ini, diantara mereka tidak ada saling menyesatkan atau menuduh fasiq termasuk dalam firqah ini, (Ahlussunnah Wal Jama’ah) mayoritas umat Islam, antara lain pengikut Imam Malik, Imam Abu Hanifah,Imam As-Syafi’i, Imam Al-Auza’i Imam As-sauri Imam Ibnu Abi Laila, Imam Abu Tsur, Imam Ahmad bin Hambal dan Ahluz Zahir (pengikut Abu Dawud al-Zohiri)”.
Term Ahlussunnah Wal Jama’ah, kemudian menjadi kabur akibat pemakaian sebutan ini, ada yang di terapkan dalam lingkup yang terlalu luas dan ada pula yang terlalu sempit; seperti yang di utarakan oleh Dr. Jalal M. Abd Hamid Musa dalam” Nasy’atul asy’ariyah wa Tathowwuruha”, malah mengilustrasikan masalah ini dengan mengatakan : “Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi rebutan sekian banyak kelompok, masing-masing berusaha membuat klaim ahluss sunnah untuk dirinya sehingga istilah ilmu kalam ini di gunakan untuk cakupan arti yang ‘am ( luas ) dan yang khas ( terbatas ), seperti yang dijelaskan di muka.
Dalam masyarakat islam dunia sekarang , di samping Asy’ariyah dan Maturidiyah, di sebut juga aliran ahlul Atsaryang bersumber dari ajaran Imam Ibnu Hambal, yang antara lain di kembangkan oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayim Al-Jauzi golongan Ahlul-atsar ini dengan tegas menyatakan diri sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, dan Ibnu Taimiyah penulis prinsip-prinsip aliran ini dalam “ Minhajusunnah”.
PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH   
Dalam Ensiklopedia Arab ( Al Mausuah al Arabiah Al Muyassarah ) di ta’rifkan Ahlussunnah wal Jamaah itu sebagai : “ As Sunnah secara lughotan ( etimologi ) bermakna  at-thariqah  ( jalan atau aliran ), dan secara istilahan ( terminologis ) bermakna semua yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w baik dalam bentuk sabda, perbuatan ataupun pengakuan Dan Ahlussunnah adalah mereka yang berpegang teguh pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan mempertahankannya”
Dr. Jalal M. Musa, mengemukakan ciri wawasan Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah “ Mengikuti jalan atau aliran para sahabat dan tabiin dalam berserah diri menghadapi masalah-masalah mutasabihat yangterdapat di dalam al-Qur’an ( ayat-ayat mutasabihat ) dan menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian metamorphosis ( ta’wil ) seperti kebiasaan mu’tazilah“. Selanjutnya dengan mengutip pendapat Al Isfarayini dikatakan: “ Kata Al-jamaah dalam kontek ini di artikan: sebagai perincian, bahwa mereka menggunakan dalil-dalil syriyah berupa Kitabullah, sunah Rasul, ijmaul A’immah dan Qiyas, mereka memandangnya sebagai masalah prinsip “.
Ijma’ as-shahabah di sepakati sebagai acuan dan dasar hokum, karena ada legitimasi dari Nabi s.a.w sendiri. Melalui pernyataan beliau: “ Apa yang saya lakukan pada hari ini dan juga yang di lakukan oleh para sahabatku”.
Sebagai istilah keagamaan maupun ke ilmuan, “Ahlussunnah wal jmaah” sudah popular sejak zaman sahabat, karena istilah tersebut memang bersumber dari Nabi Muhammad s.a.w sendiri. Kemudian istilah ini lebih di populerkan lagi oleh Al A’immah Al Arba’ah yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal; pada masa-masa selanjutnya, golongan Khawarij, rafidlah, Mu’tazilah dinyatakan “ bukan Ahlussunnah Wal Jamaah antara lain dengan alasan karena tidak mau mengakui sahnya Ijmak sebagai hujjah atau dalil hukum agama.
Menurut Ibnu Taimiyah, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan madzhabnya para sahabat yang diperoleh dari Nabi Muhammad s.a.w., Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat, bahwa Ijma’us-shahabah merupakan hujjah,tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam kedudukan Ijma’ angkatan-angkatan berikutnya seperti angkatan Tabi’in, Tabiut-tabi’in dan selanjutnyam apakah dapat dipandang sebagai hujjah atau tidak ?.
Dr.An-Nasyar, juga menyatakan bahwa Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam, dan terus berjalan maju ditengah-tengah Madzhab, untuk bertahan dan menghadapinya sepanjang waktu. Pada zaman khalifah Ali bin Abi Thallib r.a., Ahlussunnah sudah menghadapi kelompok Khawarij, kemudian Syi’ah. Kemudian pada zaman akhir generasi shahaba, terjadi gerakan Qadariyah dan Murji’ah, dan selanjutnya pada awal abad ke-2 H. Terjadi gerakan baru yang dikenal dengan Jahmiyah, yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah, yang kemudian disusul lahirnya gerakan Tajsim atau mujassimah (antroporsifisme dalam Islam).
Apabila madzhab fiqhiyah mencapai perumusan-perumusan kaidah fiqhiyah pada abad ke-2 H dengan lahirnya ilmu ushul-fiqih, yang disusul dengan Penyusunan sistematika Kitab-kitab fiqih seperti yang dapat kita kaji sekarang ini, maka firqah atau madzhab baru pada abad ke-3 H. Disusun metodologinya dan sistematikanya.
Pada pertengahan abad ke-3 H tampil tiga tokoh ilmu kalam dikalangan ahlussunnah waljama’ah yakni Abu Musa Al Asy’ari di Basrah, Abu Mansur Al Maturidi di samarkand dan Abu ja’far At-Thahawi di mesir hanya saja dalam popularitasnya At-Thahawi tidak sepopuler seperti kedua tokoh lainnya tersebut.  
Menurut Dr. Ahmad Amin, jika Al-Asy’ari sebagai pengikut madzhab Syafi’i (dalam masalah fiqih), maka Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi. Oleh karenanya maka perbedaan yang terdapat diantara keduanya merupakan bias dari perbedaan antara As-Syafi’i dengan Hanafi, yakni lebih banyak bersifat perbedaan simantik dan dialektis. Dalam pengamatan Ibnu Zadah (Abdurrahim bin Ali) perbedaan antara Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi hanya dalam 40 (empat puluh) masalah saja. Sedangkan menurut Ibnu ‘Adzbah (Hasan bin Abdulmuhsin) perbedaan antara keduanya hanya dalam 30 (tiga puluh) masalah. Diantaranya seperti:
Pertama : Masalah Prinsip Iman.
Menurut Maturidiyah, Iman harus berupa pembenaran (tashdiq) dalam hati, dan pengakuan (iqrar) dengan lisan. Menurut As-Sya’ari, Iman itu disamping tasdiq dalam hati, harus diucapkan (nutqun) dalam bentuk dua syahadah (kesaksian).
Kedua : Kewajiban iman kepada Allah dengan akal
Menurut Al-Maturidiyah, orang yang berakal berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, meskipun belum mengetahui dan beriman ajaran wahyu. Jika tidak beriman dia dosa. Menurut As-Ay’ariyah, yang menyebabkan orang berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, adalah karena adanya wahyu yang didakwahkan. Bagi orang yang belum pernah menerima dakwah, dia tidak berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, karena dia dianggap tidak berdosa.
Ketiga : Masalah ‘ishmatul Anbiya’ (keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa).
Menurut Maturidiyah, semua Nabi terjaga dari perbuatan dosa, baik berupa dosa besar maupun dosa kecil. Menurut Asy’ariyah, semua Nabi terjaga dari perbuatan yang menimbulkan dosa kecil.
Sementara orang yang mengeritik ajaran Asy’ariyah sebagai penghambat kreativitas, terutama ajaran “al-kasb”yang dipandang berbau jabariyah dalam menyelamatkan aqidah Islamiyah dari penggusuran Hellenisasi habis-habisan, seperti yang dialami oleh Kristen. Meskipun adalah agama Semitik (agama yang berasal dari wilayah Timur Tengah yang umumnya monotheis) dan Nabi Isa a.s. adalah orang yahudi, akan tetapi agama itu kini telah kehilangan Semitiknya dan digantikan dengan lebih banyak wajah Yunani dan Romawi. Sebagai contoh, menurut Van den Berg, konsep ketuhanan “Bunda Maria” dalam kristen adalah kelanjutan mitologi (kepercayaan) Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Kenyataan ini merupakan salah satu bukti bahwa Kristen sudah begitu banyak dipengaruhi dan berkompromi dengan Hellenisme (kebudayaan dan filsafat Yunani). Dalam hal ni Nurcholis Majid juga mengatakan, bahwa penghargaan harus diberikan kepada As-Asy’ari setinggi-tingginya, karena berhasil membendung efek Hellenisasi dari pemikiran kefilsafatan para filosof seperti Ibnu Sina, Al-Kindi maupun Al-Farabi. Sangat boleh jadi, tanpa kehadiran dan sikap Al-Asy’ari yang demikian ketat, ajaran tauhid Islampun akan terkompromikan dengan kepercayaan-kepercayaan setempat, meskipun peranan pembendungan ini tidak seluruhnya dilakukan oleh Al-Asy’ari sendiri.
AKTUALISASI AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
Untuk dapat memahami dan apalagi mengaktualisasikan Ahlussunnah wal jamaah dalam kehidupan individu maupun masyarakat muslim, tentunya tidak hanya didekati melalui doktrinnya saja. Sedikitnya ada tiga macampendekataan utuk memahami dan mengaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.
Pertama : pendekatan doktrunal, yakni memahami dan mengaaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan memahami duktrin-doktrin dan ajaran-ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi-diskusi dan pengajian formal atau non formal mulai dari konsep keimanaan kepada Tuhan, sampai masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan masalah-masalah ghaibiyah.
Kedua : pendekatan historis, yakni menulusuri perkembangan kesejarahan; mengapa sikap-sikap ahlus sunnah waal Jama’ah menjadi tegar dalam , mensupremasikan dalil-dalil naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa Ahlussunnah Wal Jamaa’ah mempertahankan sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa Ahlussunnah Wal jamaa’ah selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’ ? sebagai contoh, ahlussunnah Wal Jamaah berusaha mempertemukan titik temu antara perbedaan yang terjadi diantara para sahabat dan ulama. Abdul Malik bin Marwan, seorang kholifah Umawiyah, setelah terjadai konflik dengan keluarga Sd. Ali bin Abi Thalib r.a., masih berusaha meaklukan konsiliasi dalam masyarakat islam. Slogan al-jama’ah dipopulerkan dimana-mana:
نَحْنُ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ تَحْتَ رَايَةِ اللهِ
“Kita adalah satu jama’ah dibawah naungan panji-panji agama Allah”.
Abdul Malik bin Marwan juga berusaha mengurangi perpecahan umat, antara lain dengan konsep  “Tarbi” yaitu menyebut empat nama sahabat besar berurutan (Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radiyullahu anhu ) ebagai paket penghormatankepada mereka. Lahirnya “Tarbi”ini merupakan produk kesejarahan, bukan bersumber dari doktrin atau dogma semata.
Sikap mencari konsensus untuk persatuan dam kemaslahatan umat ini ditampilkan lagi oleh kholifah Uman bun Abdul Aziz; yang memerintahkan penghapusan kalimat yang berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalip r.a dari semua khutbah dan menggantikannya dengan bagian ayat Al-Quran yang memberi arti sangat akomodatif dan integratif, yaitu:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلِإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلكُمْ تَذَكَّرُوْنََ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada keluarga dekat / kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mrngambil pelajaran”.
Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khasan kesejahteraan. Seperti peran pengembangan Ahlussunahwal Jamaa’ah melalui intrumen birokratis, yang pernah di lakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi, Nizhomil muluk dan lain sebagainya; yang semuanya memberikan inspirasi kepada kita, bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai kaitan kesejarahan dengan peran kaum birokratis, dan fenomena seperti itu dapat di lakukan kapan saja.
Ketiga pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai dan sikap kemasarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita tahu btapa banyakknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzab, khususya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Imam Safi’i sendiri pernah tidak membaca Qunut waktu sembahyang shubuh, pada saat beliau ada di madinah demi menghormati kepada imam malik yang diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam waktu yang cukup lama mendoakan secara khusus kepada iman Safi’i sebagai penghormatan jasa-jasa keilmuannya.
Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliah dari pada dalil-dalil aqliah, memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar adalah wahyu, baik yang berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah, sedang yang dari ijtihad manusiawi tetap hanya memiliki kebenaran nisbi saja, masih mungkin mengandung kekurangan-tepatan, baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial.
Sifat menerima hidup dalamkemajmukan merupakan nilai sosial yang patut dikembangkan, terutama bagi masarakat pluralistik di indonesia ini. Keangkuhan sosial bagai manapun akan banyak menimbulkan kemadlahatan.
Sikapo keilmuan yang terbuka seperti yang di kemukakan Al-Ghozali merupakan sikap ilmiah yang patut di lestarikan, dimana keilmuan ( baik yang sariyah maupun yang ghoiru sariyah ) dapat di kembangkan bersama-samauntuk kemaslahatan umat.
Dengan memahami Ahlissunnah Wal Jama’ah melalui beberapa pendekatan tersebut, diharapkan lebih operatif dalam mengembangkan kualitas umat islam, dan bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara menerapkannya.



PERANAN PENDIDIKAN DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
(MELALUI KAJIAN METODOLOGI)
Sebagai suatu doktrin ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada jauh sebelum tumbuh sebagai “aliran” dan “gerakan”, bahkan teminologi atau istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah s.a.w. dan para sahabatnya; hanya saja belum di pakai sebagai “nama aliran” atau gerakan kelompok tertentu. Hal yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai aliran dan gerakan tertentu dari komunitas islam adalah sebagai reaksi dan koreksi terhadap aliran dan gerakan lain dikalangan umat islam tyang mengan cam kemapanan doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, terutama menguatnya pengaruh aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya pada zaman Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M) dan Al-Watsiq (228-233 H/842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam penyebaran  faham Mu’tazilah itu, terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan khususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al-Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilahmelakukan pemaksaan kepda seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masarakat islam. Dalam pemaksaan faham Mu’tazilah itu, banyak ulama yang menjadi panutan masarakat menjadi korban penganiyayaan di antaranya adalah Imam Hambali ( ahmad bin Hambal), Muhammad bin Nuh, dan lain-lain lagi yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk mengattakan bahwa “ Al-qur’an itu adalah mahluk”  (seperti yang diyakini Mu’tazilah), maka mereka di penjarakan dan di aniaya. Ketegaran dan ketegasan mereka dalam mempertahankan keyakinan/aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mendapat simpati luas dari masarakat dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah dan kekuasaan mendukungnya.
Ketika Al-Mutawaqil (233-247 H/874-861 M) menjada khalifah Abasiyah menggantikan Al-Watsiq dia melihat bahwa posisi sebagian khalifah perlu mendapat dukungan mayoritas dari masarakat.sementara itu kelompok mayoritas islam setelah kasus “mihnah” atau ujian aqidah terhadap pengikut imam bin Hambal. Oleh sebabitu pada tahun 856 M, khalifah Al Mutawajil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara atau pemerintahan.
Bagi masarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin mu’tazilah yang rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah tokoh intelektual dan ulam islam Abul Hasan Al-As ary wafat 324 H/935 M ) dengan ajara-ajaran aqidah (teologi) baru yang berusaha mengakomodasi aspirasi masarakat, dengan tetap berpegangan teguh pada sunnah nabi s.a.w serta tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi al-As Ary ini kemudian di kembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulam pengikutnya, seperti: Abu Hasan Al Bahili, muhammad Al Baghillani, Abdul Maali Al Juwaini (Imam haramain), abu hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad bin Yusuf As Sanusi, dan lain-lain. Dan disamarkand, muncul tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang lain ya’ni Abu Mansur Al Maturidi (wafat333 H/ 944 M) kemudian ajaran teologinya di kenal Al Maturidiyah. Di Bukhara, aliran Mturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al Basdawi. Meskipun pendukung Al Asariyah maupun Maturidiyah, secara metodologi mengikuti imamnya, tetapi dalam fatwa-fatwa qauliyah tidak seluruh sama; disana terjadi dinamika konsepsi sejalan dengan realita dan penemuam-penemuan baru yang dihadapi. Dan dari kejadian kajian khazanah keilmuan dan data-data kesejahteraan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini dapat di tarik suatu Wal Jama’ah secara utuh, perlu beberapa macam pendekatan, setidak tidaknya adalah pendekatan doktrinal (mengkaji dari sisi ajaran yang di pandang baku), historis (aspek kesejahteraan yang mempengaruhi perkembangan Ahlussunnah Wal Jamaah selama ini), dan kultural (pengaruh budaya dan tradisi yang mendukung maupun menentang Ahlussunnah Wal Jama’ah) itu sendiri.

PERAN PENDIDIKAN TERHADAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Sampai pada awal pemerintahan bani salju, yakni pada masa tugril Beq dan perdana meterianya yang benama Abu Nasr bin Mansur Al Kundari (416-456 H), tekana-tekanan terhadap golongan dan gerakan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah masih sanagt kuat, bahkan ajaran dan tokohtokoh Ahlussunnah Wal Jamaah mendapat cacian dan kutukan mimbar-mimbar jumaat dan ceramah-ceramah di Masji-Masjid. Bahkan Al Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh\tokoh dan ulama-ulama Al Asariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abu Abdul Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi dengan ddemikian penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum dan As-Sy’ariyah secara khusus mengalami hambatan.
Tekanan dan istimedasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah Pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah tterjadi pergantian kekuasaan dari Tugril Beg ke Alp Arsalan dengan perdana menterinya yang masyhur, yakni; Mizhomul Mulk (1063-1092 M) yang dengan setia mendukung faham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Aliran As-Asy’ariyah mengalami kemajuan pesat bahkan mampu mendominasi pemikiran dunia Islam melalui “Madrsyah Nizhomiyah” yang didirikan dizhomul Mulk madrasyah ini mempunyai cabang hampir seluruh kota penting dalam wilayah kekuasaan Saljukiyah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan kurikulum yang sarat ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Imam Al-Ghozali pernah memimpin lembaga Nizhomiyah ini,dan berkesempatan luas untuk mewarnai Nizhomiyah dengan faham As-Asy’ariyah.
Di mesir dan Suriah teologi As-Suriah ini juga perkembangan dengan dukungan pemerintahna salahuddin Al-Ayyubi, pendirian dinasti Ayyubiyah, setelah menghapuskan ajaran Asiah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di mesir dan suriah lain warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya, dan selanjutnya sistem dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan dan peradaban Islam bercitra Sunni Sampai selkarang.
Perkembangan aliran As-Asy’ariyah dibelahan dunia timur ( India,pakistan,afganistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Muhammad Al-Gazwani ( 971-1030 M), Sultan ketiga dinasti gaswaniyah. Pada mulanyamahmud Al-Ghazwani menganut madzhab Hanafi, tetapi, Gazwani dalam penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan :
Pertam, memprakarsai penulisan kitab –kitab keislaman yang bermuatan ajaran Sunni.
Kedua,  membangun madrasyah-madrasyah besar sebagai pusat pengajaran.
Ketiga,  membentuk Majlis-majlis keilmuan dan keagamaaan yang diikuti oleh para ulama’ dan cendekiawan.
Keempat, mengirim ulama’ dan muballigh-muballigh untuk menyebarkan ajaran sunni sekaligus menghadapi gerakan-gerakan lain yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Khusus diIndonesia pemikiran-pemikiran Al-Asyariyah dikenal luas melalui kitab-kitab karya al-Ghazali dan As-Sanusi. Pengaruh As-Sanusi di Indonesia populer dengan konsep teologinya terhadap sifat Allah dan rasulnya yaitu sifat Wajib,Mustahil dan Jaiz.,tentang sifat-sifat wajib yang 20 (dua puluh), sifat mustahil 20 (Dua puluh), dan sifat Jaiznyahanya satu (1) bagi Allah Juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga bagian, yakni sifat “Nafsiyah”(kedirian Allah), sifat “salbiyah” (sifat yang membedakan zdat Allah dengan lainnya) dan sifat “ Ma’ani” (sifat yang Abstrak). Disamping itu juag konsep sifat rasul, yakni sifat wajib empat(4) sifat mustahil empat(4) dan sifat jaiz satu (1). Konsep-konsep akidah ( teologis) tersebut begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat luas, baik melalui pengajian, karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah atau madrasyah.
Di spayol ( andalusia) dan afrika utara, peranan iIbnu Tumart sangat besar. Dia yang memerintahkan Agar karya-karya Al-Asy’ari dan Al-Ghozali dihidupkan kembali, yang sebelumnya dilarang bahkan dikabar oleh penguasa dinasti murabithim. Penyebaran gerakan Al-Asy’ariyah menjadi lebih kuat setelah Ibnu Tumart berhasil membangun kekuasaan politik di Afrika dan Andalusia pada tahun 1114M yang diberi nama daulat “Al-muwahhinun”, kekuasaan ini berlangsung sekitar satu abad (515-667 H / 1121-1269 M). Pada zaman dinasti muwahindun inilah hidup ulama’-ulama’ dan cendikiawan besar sunni, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Mulkun,Ibnu Zur dan sampai sekarang kawasan itu seperti maroko, Al-Jazair tunisia dan Libia masih menjadi wilayah-wilayah sunni yang sangat kuat kecuali spayol(andalusia) yang berubah menjadi kristen lagi. Pusat-pusat pendidikan disana sampai sekarang masih merupaka pusat pengembangan dan pengajian Islam sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah).
PEMBUDAYAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH MELALUI PENDIDIKAN SEKOLAH
Sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua (peran pendidikan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah) bahwa pendidikan telah berperan banyak dalam penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bahkan hanya dalam pemahaman tetapi juga dalam pengamalan. Kita dapat menyaksikan, banyak langgar-langgar atau surau-surau, masjid-masjid membiasakan jama’ahnya melakukan “pujian” dengan membaca : “Wujud,Qidam,Baqa’,Muhafatul lil hawaditsi,Qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat,Qudrad,Iradat,....dan seterusnya”, suatu model pembudayaan melalui pendidikan klasik dinegara kita. Tetapi tradisi semacam itu sekarang mulai terasa langka. Dipondok-pondok pesantren dulu, dianjurkan “Riyadloh”(tirakat). Melek wengi”(tidak tidur waktu malam) “ tahajjud” Wiridan “ dan lain-lain. Sebagai pengamalan penghayatan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan,bahwa “ilmu’itu sumbernya adalah Allah, yang dapat diberikan kepada manusia mulai dua jalur usaha, yakni dengan ‘Ta’allum” (belajar) dan”Takarrub”i (mendekatkan diri kepada Allah). Sekarang ini, masalah internaliasasi nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah macam itu sudah kurang sekali. Dilain sisi pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara ilmiah kurang memadai, antara lain karena :
Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang proporsional ( Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan : “yangb tidak qunut dalam shalat subuh, itunbukan Ahlussunnah ...”, atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah...”, cara-cara semacam itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara ilmiah, sebab didalam buku-buku atau kitab-kitab yang mu’tabarpun tidak pernah masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter ke Ahlussunnah Wal jama’ah. Dikalangan Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’ saat melaksanakan shalat subuh.yang hanya madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi, Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka bukan termasuk golongan Ahlussunnah?.
Kedua;  Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan pendekatan”Doktrinal” yang Normatif, tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan. Misalnya, tentang konsep Al-Juaini yang mengharuskan “ Ta’wil” terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang Allah secara “jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad), mata (ainun), duduk (Istawa) dan lain-lain padahal Al-Assy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan bahkan bahwa Doktrin Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu tidak lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.
Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga pada zaman generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal-jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode deologis, memberi peluang untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini kerapkali kita gunakan pendekatan yang sebaliknya guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakn, tidak banyak memberi peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan, malah menimbulkan rasa penasaran pada peserta didiknya.
Hal demikian itu mungkin terjadi karena beberapa, seperti;
a.       Keterbatasan pengajar dalam menguasai subtansi materi yang diberikan.
b.      Keterbatasan wawasan dalam masalah diajarkan, sehingga media dialog sulit dikembankan.
c.       Kelemahan metodologi.
Akhirnya terasa sekali perlunya kajian-kajian Ahlussunnah Wal-jama’ah yang lebih Intensif, baik secara Doktrinal, Historis, maupun Kultural. Dan untuk itu semua kami kira perlu upaya mengembangkan “laboratorium Ahlussunnah Wal-jama’ah”, yang bekerja untuk jangka panjang dengan intesitas kajian yang utuh.